Dibalik Radiofarmaka: Peranan Industri dan Pemerintah dalam Memfasilitasi Radiofarmaka di Indonesia

BAGIKAN

Radiofarmaka, atau bahan radiofarmasi, adalah senyawa radioaktif yang digunakan dalam bidang kedokteran nuklir untuk diagnosis dan terapi penyakit, termasuk kanker. Senyawa ini menjadi tulang punggung teknologi seperti PET Scan, terapi radionuklida, dan pencitraan medis lainnya. Namun, di balik manfaatnya yang besar, tersimpan kompleksitas produksi, distribusi, dan regulasi yang melibatkan peran krusial industri dan pemerintah. Bagaimana Indonesia memfasilitasi pengembangan radiofarmaka? Simak ulasannya berikut.

Daftar Isi

Apa Itu Radiofarmaka?

Radiofarmaka adalah zat radioaktif yang dikombinasikan dengan molekul biologis (seperti glukosa atau antibodi) untuk mendeteksi atau mengobati penyakit. Contohnya adalah Fluorodeoxyglucose (FDG) yang digunakan dalam PET Scan untuk mendeteksi kanker. Radiofarmaka memiliki waktu paruh pendek, sehingga produksi dan distribusinya memerlukan infrastruktur khusus dan koordinasi ketat.

Peran Industri dalam Pengembangan Radiofarmaka

Industri farmasi dan nuklir memegang peran sentral dalam memastikan ketersediaan radiofarmaka. Berikut kontribusi mereka:

1. Produksi dan Inovasi

    Perusahaan seperti PT Kimia Farma dan BATAN (Badan Tenaga Nuklir Nasional) terlibat dalam produksi radioisotop dan formulasi radiofarmaka. BATAN, melalui Fasilitas Produksi Radioisotop dan Radiofarmaka (FPRR), menghasilkan isotop seperti Tc-99m dan I-131 yang digunakan di rumah sakit.

    2. Distribusi yang Cepat dan Aman

      Karena radiofarmaka memiliki waktu paruh singkat (misalnya FDG: 110 menit), industri harus memastikan distribusi efisien ke rumah sakit. Perusahaan logistik khusus diperlukan untuk memenuhi standar keamanan radiasi.

      3. Kolaborasi dengan Lembaga Internasional

        Industri lokal juga bekerja sama dengan organisasi seperti IAEA (International Atomic Energy Agency) untuk transfer teknologi dan peningkatan kapasitas produksi.

        Peran Pemerintah dalam Memfasilitasi Radiofarmaka

        Pemerintah Indonesia memiliki peran strategis melalui regulasi, pendanaan, dan infrastruktur:

        1. Regulasi dan Standarisasi

        • Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengawasi izin edar dan keamanan radiofarmaka.
        • BAPETEN (Badan Pengawas Tenaga Nuklir) bertanggung jawab atas pengawasan penggunaan bahan radioaktif.

        2. Pengembangan Infrastruktur

          Pemerintah mendukung pembangunan fasilitas produksi radiofarmaka, seperti reaktor nuklir BATAN di Serpong, yang menghasilkan isotop medis.

          3. Pendidikan dan Riset

          • Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mendorong riset radiofarmaka di universitas, seperti Universitas Indonesia dan Institut Teknologi Bandung.
          • Program hibah riset dari Kemenristek BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) turut mendukung inovasi di bidang ini.

          4. Kebijakan Kesehatan Nasional

            Pemerintah memasukkan teknologi nuklir dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) priode 2020-2024 untuk meningkatkan akses layanan kesehatan.

            Baca Juga: Radiofarmaka: Inovasi dalam Diagnostik dan Terapi Medis

            Tantangan Pengembangan Radiofarmaka di Indonesia

            1. Ketergantungan Impor Bahan Baku

              Sebagian besar radioisotop masih diimpor dari luar negeri, seperti dari Australia dan Amerika Serikat, karena keterbatasan fasilitas produksi.

              2. Biaya Produksi Tinggi

                Infrastruktur reaktor nuklir dan sistem distribusi memerlukan investasi besar.

                3. Kurangnya SDM Ahli

                  Indonesia masih kekurangan tenaga ahli di bidang teknologi nuklir dan farmasi radiologis.


                  Sumber

                  1. N. Elly Rosilawati, I. Nasution, Tri Wahyu Murni. Penggunaan radiofarmaka untuk diagnosa dan terapi di Indonesia dan asas keamanan penggunaan obat. SOEPRA. 2017;3(1). [cited 2025 Jan 30]. Available from: https://doi.org/10.24167/shk.v3i1.697
                  2. Perini EA, et al. Pre-feasibility study for establishing radioisotope and radiopharmaceutical production facilities in developing countries. Curr Radiopharm. 2019;12(3):187-200. [cited 2025 Jan 30]. Available from: https://doi.org/10.2174/1874471012666190328164253
                  3. Badan Pengawas Tenaga Nuklir Republik Indonesia. Peraturan Badan Pengawas Tenaga Nuklir Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2020 tentang Keselamatan Radiasi dalam Produksi Radioisotop untuk Radiofarmaka. 2020. [cited 2025 Jan 31]. Available from: https://jdih.bapeten.go.id/unggah/dokumen/peraturan/1023-full.pdf
                  4. Humas BRIN. Bahas tantangan distribusi radiofarmaka berbasis siklotron, BRIN tekankan produksi bahan baku. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). 2024. [cited 2025 Jan 31]. Available from: https://www.brin.go.id/news/120537/bahas-tantangan-distribusi-radiofarmaka-berbasis-siklotron-brin-tekankan-produksi-bahan-baku
                  5. HM-Rasyad. Percepatan pemanfaatan produk radiofarmaka lokal yang bermutu dan berdaya saing. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). 2023. [cited 2025 Jan 31]. Available from: https://www.pom.go.id/berita/percepatan-pemanfaatan-produk-radiofarmaka-lokal-yang-bermutu-dan-berdaya-saing
                  Hubungi Kami: +62811 1707 0111