Jumlah kasus tumor otak primer di dunia mencapai 10.82 per 100,000 penduduk per tahun. Masing-masing jenis tumor otak memiliki insidensi (jumlah kasus baru) yang berbeda. Prevalensi (tingkat penyebaran) jenis tumor yang paling sering ditemukan pada orang dewasa adalah jenis Glioblastoma. Sekitar 47.7% kasus tumor otak dan sumsum tulang adalah Glioblastoma. Glioblastoma lebih sering ditemukan pada usia dewasa dan insidensinya meningkat seiring bertambahnya usia. Insidensi tertinggi terdapat pada kelompok usia 75–84 tahun. Glioblastoma lebih banyak 1.6 kali lipat ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan.
Glioblastoma merupakan tumor astrositoma tingkat IV yang paling ganas. Pada umumnya, lokasi Glioblastoma ditemukan di otak besar bagian lobus frontal, dan lobus temporal. Glioblastoma memiliki prognosis / prediksi kesembuhan yang kurang baik. Ada banyak pemeriksaan untuk mendeteksi ataupun mendiagnostik tumor otak. Jinak atau ganasnya sel tumor, dapat diketahui ketika jaringan tumor sudah dilihat menggunakan mikroskop. Setelah jaringan tumor tersebut teridentifikasi, ada beberapa pemeriksaan lanjutan untuk melihat perubahan DNA tumor yang menyebabkan tumor tumbuh, pemeriksaan ini disebut pemeriksaan biomarker.
Terdapat banyak contoh pemeriksaan biomarker. Dokter akan menginformasikan pemeriksaan biomarker apa yang tepat dan apakah perlu dilakukan. Dua di antara contoh pemeriksaan biomarker yang sering digunakan pada kasus tumor otak, terutama Glioblastoma, adalah EGFR (Epidermal Growth Factor Receptor) dan MGMT (O-6-methylguanine-DNA Methyltransferase).
EGFR (Epidermal Growth Factor Receptor)
EGFR dapat mendiagnostik bermacam-macam tumor ganas, seperti tumor kepala, leher, payudara, paru-paru, kolorektal (usus besar dan anus), prostat, ginjal, dan beberapa jenis kanker lainnya. Khusus untuk Glioblastoma, EGFR digunakan untuk melihat seberapa banyak perkembangan sel-sel yang berkembang cepat di luar batas normal atau sel kanker dengan melihat level (jumlah) EGFR.
EGFR ( Epidermal Growth Factor Receptor) merupakan suatu reseptor protein dalam sel yang membantu pertumbuhan atau perkembangan sel itu sendiri. Kesalahan genetik (mutasi gen) dapat meningkatkan EGFR, sehingga dapat menyebabkan kanker. EGFR juga terlibat dalam kelangsungan hidup sel kanker.
Selain digunakan untuk diagnostik, EGFR dapat digunakan untuk terapi. Hal ini dikarenakan fungsi dari EGFR itu sendiri yaitu sebagai reseptor sel untuk pertumbuhan ataupun perkembangan sel. Saat terjadinya tumor atau kanker tertentu, anti EGFR dapat menekan perkembangan jumlah sel yang tidak normal via pemblokiran reseptor EGFR itu sendiri. Beberapa obat anti EGFR adalah cetuximab, erlotinib, gefitinib, dan masih banyak contoh lainnya. Selain EGFR, MGMT (O[6]-methylguanine-DNA methyltransferase) juga digunakan sebagai prediktor yang cukup baik dalam pengobatan tumor otak khususnya Glioblastoma.
MGMT (O[6]-methylguanine-DNA methyltransferase)
MGMT (O[6]-methylguanine-DNAmethyltransferase) merupakan enzim perbaikan DNA. Enzim ini menyelamatkan sel tumor dari kerusakan yang disebabkan oleh agen alkilasi (salah satu komponen kemoterapi). MGMT berguna sebagai prediktor kuat untuk keberhasilan responsivitas kemoterapi dengan menggunakan obat temozolomide. Mayoritas agen alkilasi, termasuk yang digunakan untuk tujuan terapeutik, memanfaatkan jalur MGMT. Sebagian besar agen alkilasi menginduksi kematian sel dengan menargetkan adisi O6-alkilguanin.
Selain itu, terdapat agen kemoterapi lain yang juga diketahui menargetkan jalur MGMT, yaitu temozolomide, streptozotocin, procarbazine, dan dacarbazine yang digunakan dalam pengobatan glioma, melanoma, tumor karsinoid, dan limfoma Hodgkin. Kadar level MGMT yang rendah memiliki korelasi dengan suksesnya pengobatan anti kanker. Sedangkan kegagalan terapi dilihat dari tingginya kadar MGMT.
Saat ini, penanganan kanker tidak hanya dapat dilakukan dengan pembedahan, radioterapi, ataupun kemoterapi. Kombinasi terapi yang komprehensif dan tepat dapat dilakukan dengan berfokus pada targeted therapy (terapi target khusus). Targeted therapy berfokus terhadap protein, sel atau gen yang menjadi pusat penyakit. Melalui terapi ini, obat yang digunakan akan langsung bekerja pada target sel yang tepat. Terapi ini dapat meningkatkan kualitas hidup pasien sekaligus mengurangi mortalitas (angka kematian) dan morbiditas (angka kesakitan).